Di masa penjajahan, Indonesia pernah memiliki seorang buronan
politik yang ide dan gagasannya mendunia, sehingga kerap dipakai sebagai konsep
perjuangan kemerdekaan kala itu.
Menurut data yang dihimpun dari tayangan program Mata
Najwa, karena perjuangannya melawan penjajah di Indonesia, seorang penulis asal
Indonesia bernama Tan Malaka, harus rela untuk diburu polisi rahasia dari 11
negara.
Hal tersebut disebabkan oleh pergerakannya melawan penjajahan
tanpa kompromi dengan tehnik tulisan, dan pengumpulan massa dari para pemuda
Indonesia.
Tahukah kalian, dirinya yang pertama kali memperkenalkan pemakaian
konsep Republik Indonesia. Hal tersebut
dilakukan jauh sebelum Presiden Pertama RI, Ir. Sukarno mulai menggunakanya.
Hingga kini, visinya juga masih kerap mempengaruhi gaya berpikir
kalangan anak muda, yang salah satunya tergabung dalam komunitas Malaka
Project.
Menyambut hari Pahlawan yang diperingati tiap tanggal 10
November, penulis mencoba merangkum biografi, dan visi dari Sang Bapak
Republik, Tan Malaka.
Lantas bagaimana kisah “buronan abadi” kolonial yang sangat
revolusioner ini?
Tan Malaka lahir di Pandam Gadang, Sumatera Barat pada tahun
1897. Berkat prestasinya di bidang akademik, ia lantas mendapatkan beasiswa ke
Belanda pada tahun 1913.
Sekembalinya ke Indonesia di tahun 1919, ia menjalankan
profesinya sebagai guru Sekolah Rakyat di Deli, Sumatera Utara. Selanjutnya, Tan Malaka mulai menjadi kolumnis yang tulisannya
muncul di Koran Het Vrije Woord, Semarang.
Di tahun 1922, dirinya dituduh melawan pemerintah kolonial
Belanda, karena terlibat dalam aksi mogok buruh rumah gadai.
Atas perbuatannya, ia diasingkan ke Kupang, dan memilih pindah
ke Belanda, serta melanjutkan ke Rusia dan China. Disanalah, Tan mulai belajar
faham Karl Marx, dan Engels.
Saat diasingkan ke China pada tahun 1924, ia menulis buku Naar
de Republiek yang juga berarti “Menuju Republik Indonesia.”
Dalam tulisannya, Tan Malaka mengusulkan bentuk Negara Indonesia
yang berisi bentuk, prinsip, serta konstitusi bagi Indonesia.
Tak heran, Mohammad Yamin, salah satu perumus Pancasila
melabelinya sebagai Bapak Republik.
Buku Naar De Republiek atau “Menuju Republik Indonesia” menjadi
awal mula penggunaan nama Republik Indonesia untuk Nusantara
sebelum negara ini merdeka.
Berdasarkan penelitian Harry A. Poeze, seorang sejarawan
Belanda, Tan Malaka sempat bergabung di Partai Komunis Indonesia, namun
kemudian ia meninggalkan partai tersebut di tahun 1927, karena sudah tidak
sejalan dengan pemikirannya.
Semenjak itu, meskipun menganut faham Sosialis, Tan Malaka
membentuk partai Murba (Musyawarah Orang Banyak) bersama Ir. Sukarno, dan Adam
Malik.
Akibat pemikiran berupa tulisan, dan perlawanan terhadap
kolonial, pada tahun 1927 dan 1937, Tan terpaksa harus melarikan diri ke
Singapura, karena diburu oleh polisi rahasia imperialis Belanda, dan
Inggris.
Sebagai seorang pelarian, dirinya kerap berpindah tempat tinggal
serta rajin mengganti nama hingga 26 kali.
Dikutip dari Historia.id, ketika diasingkan, Tan Malaka kembali
menulis risalah yang berjudul Massa Actie. Karya tulis ini
bertujuan mengumpulkan para pemuda untuk gerakan revolusi terhadap pemerintah
kolonial.
Dalam tulisannya itu Tan mengkritik rakyat Indonesia yang masih
mempercayai adanya tahayul dan mistik.
Hal semacam itu menurutnya membuat rakyat Indonesia menantikan
Ratu Adil, sehingga hanya bisa pasrah, dan pasif dalam merebut kemerdekaan.
Menurut Tan, pemikiran primitif hanya membawa rakyat Indonesia
tunduk dan menjadikan mental jongos kepada penjajah. Logika tersebut yang coba
dilawan dirinya saat itu.
Dilansir Kompas.com, berkat tulisan Massa Actie, Tan Malaka
berhasil mengumpulkan 200 ribu pemuda ke lapangan Ikada, untuk menentang
penjajahan Jepang kala itu, secara radikal dan progresif.
Tan melanjutkan risalahnya menjadi sebuah buku berjudul Madilog di
tahun 1943. Dalam tulisannya, Tan mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia
harus memiliki landasan berpikir Materialisme, Dialektika, dan Logika, supaya
menjadi bangsa maju dan makmur.
Salah satu gagasan yang terkenal di buku tersebut ialah Logika
Mistika, dimana masyarakat Indonesia harus memulai peradaban modern
supaya maju, seperti meninggalkan mitos dan tahayul yang hanya menghambat
kemajuan berpikir.
Di tulisan tersebut Tan Malaka juga mengajak masyarakat
Indonesia untuk berfikir rasional dan kritis, sehingga menjadi bangsa yang
makmur.
Selanjutnya, ketika Jepang menyerah kepada Sekutu pada tahun
1945, Tan Malaka kembali ke Jakarta dari pengungsiannya, dan bertemu Sukarni
dari pemuda menteng 31, yang merupakan rekannya sesama partai Murba untuk
mempersiapkan rencana proklamasi.
Walau tidak terlibat saat Proklamasi Kemerdekaaan, banyak
tulisannya yang menjadi inspirasi bagi banyak tokoh pejuang kemerdekaan saat
itu.
Dalam masa pelarian, dirinya selalu menulis mengenai kepentingan
kemerdekaan Indonesia tanpa ada kompromi. Tulisan-tulisan tersebut selalu
didistribusikan secara ilegal kepada masyarakat Indonesia.
Bahkan pada setiap kesempatan rapat kemerdekaan, dirinya selalu
membawa buku Naar De Republiek, mengenai harapan kemerdekaan Indonesia.
Berkat karyanya yang malang melintang di dunia internasional,
nama Tan Malaka kini diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Amsterdam,
ibukota Belanda.
Karena jiwa patriotismenya, Tan Malaka juga diangkat menjadi
Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno pada tahun 1963.
Sayangnya, konsep perjuangan Tan Malaka yang dianggap berhaluan
“kiri” tak banyak terdengar di jaman Orde Baru.
Komentar
Posting Komentar